Teraskabar.com - Salah satu cara merusak tatanan masyarakat dengan menerapkan suatu kebijakan politik yang sesuai dengan dinamika soal budaya masyarakat tersebut.
Indonesia sebagai multikultur, tentu bisa retak di dalam, dengan praktik seperti itu. Seperti dalam buku nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia, 2012 karya Jacques Betrand.
Mengisyaratkan pada kita semua bagaimana 'retak di dalam' itu terjadi sebagai implikasi dari kesalahan bangunan kebangsaan ala Orde Baru.
Pada suatu workshop kebangsaaan, Yudi Latief menekankan pentingnya persatuan, bukan otoritasan.
"Jangan ada usaha untuk menyeragamkan Indonesia, dan juga jangan berhenti pada perbedaan saja," ucap Yudi Latief.
Yudi lebih dalam lagi menegaskan, "Pancasila seharusnya bukan menjadi alat kontrol pemerintah ke masyarakat, tetapi pengendali pemerintah oleh masyarakat," imbuhnya.
Baca Juga: Hari Ibu 2022: Ratusan Bundo di Padang Pamer Pakaian Adat dan Makan Bajamba
Yudi Latief tidak hanya menyuguhkan kepada kita akan kelemahan berbagai paradigma politik kenegaraan sebelumnya. Melainkan menyajikan pandangan solutif. Ia tak hanya sampai dengan memperlihatkan kerapuhan bangunan ke-Indonesiaan saat tertentu, di masa lalu.
"Harus ada perubahan fundamental serta struktural dan kultural dalam kehidupan politik, serta ekonomi," kata Yudi Latief, alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran di tahun 1990 itu.
"Prasyarat struktural dan kultural ini sesungguhnya telah dipikirkan pendiri bangsa ketika merumuskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945," sambungnya.
Yudi lebih dalam menggali tentang Pancasila sampai ke urat akar, dengan menyinergikan pandangan politik kebangsaan dan pandangan politik kebudayaan.
"Pancasila adalah dasar sekaligus tujuan utama ke mana negara ini bergerak," ungkap Yudi.
Baca Juga: Dipaksa Seks Anal, Pengakuan Tamara Bleszynski Bikin Geger, Apalagi Denise Chariesta
Menurut pandangan Yudi Latief yang lahir 26 Agustus 1964, menyampaikan lagi, "Tanpa wawasan dan komitmen kebudayaan, Indonesia adalah raksasa budaya yang pingsan, tercekik oleh kencenderungan untuk menjadikan ekonomi dan politik sebagai panglima".
"Padahal, kebudayaan adalah kompas yang mengarahkan pembangunan ekonomi dan politik ke arah kebaikan dan keagungan," sambung Yudi dalam catatan 'Ahli Waris Budaya' 2013.
Seakan Yudi Latief membentangkan pemikiran yang komprehensif. Ia berusaha menggerakan kebudayaan dengan menegaskan Pancasila sebagai mercusuar.
"Pancasila tidak dipungut dari udara, tetapi dari pengalaman historik," dan Pancasila bagi Yudi, adalah batu karang di tengah samudra ketidakpastian.
Pada kesempatannya Yudi Latief, . . .selalu mendengungkan kesadaran Pancasila adalah jawabah dari sekian banyak permasalahan nasional dan juga global saat ini.
Baca Juga: Pakai Model Bisnis Moneter, Bank Indonesia Mulai 'Garap' Uang Rupiah Digital
Adapun dalam bukunya Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila terbitan 2011, menjadi kajian teoretik pertama dan mendasar tentang Pancasila. Buku itu menjadi kajian pertama dalam sejarah Indonesia yang diluncurkan di gedung MPR, di 2014.
Buku itu masuk dalam 44 buku yang membawa perubahan dan mengubah Indonesia, versi Media Indonesia. Buku karya Yudi Latief jadi pegangan pada diklat eselon I, II dan III di LAN serta Instansi Lemhanas, dan buku wajib di berbagai perguruan tinggi, seperti Universitas Parahayangan dan Universitas Gadjah Mada.
Kemudian lebih dalam lagi tentang Buku Revolusi Pancasila, 2015. Dalam buku itu, Yudi tidak terlalu mengupas tentang Pancasila secara teoretik, melainkan bagaimana membuat perubahan berlandas Pancasila.
Pada buku setebal 220 halaman itu, tertuang di dalam tentang penekanan Pancasila dapat menjadi penggerak dan kekuatan yang nyata menuju peradaban Indonesia.
“Salah satu musuh Revolusi Pancasila adalah kekuatan kapitalisme domestik dan Internasional yang eksploitatif dan menyengsarakan rakyat,”: kutip dari Buku Revolusi Pancasila.
Dalam buku tersebut mencakup manifesto Revolusi Pancasila ke dalam aksi dan tindakan nyata, dan untuk mencapai cita-cita Pancasila, siapa pun tidak bisa sendiri.
Baca Juga: Mahar Nikah Kaesang Pangarep Dituding Picu Moneter Indonesia! BI Buka Suara
“Intisari dari Pancasila adalah gotong royong,” tegasnya.
“Buku Revolusi Pancasila adalah pegangan bagi kawan-kawan aktivis mahasiswa,” ucap Yudi Latief menambahkan.
Pancasila bukan slogan, tapi api kesadaran mengapa kita menjadi sebuah bangsa. [*]