Teraskabar.com - Lebih dari 150 tahun silam, naturalis Inggris Alfred Russel Wallace datang ke Kobror dalam sebuah misi yang penting bagi dunia taksonomi: berbelanja cenderawasih.
Di pulau yang dihuni orang-orang berkulit gelap dan berambut keriting ini, Wallace membeli beberapa ekor cenderawasih dengan harga murah.
Meski misinya tercapai, Wallace menyesal karena gagal menyaksikan langsung tarian sang burung di habitat aslinya. Ia memang datang pada momen yang keliru.
Cenderawasih hanya menari pada musim kawin, ketika laut sedatar cermin dan kemarau panjang menggantang sekujur pulau.
Sementara Wallace berkunjung pada musim Angin Barat, saat angin bertiup kencang, laut mengamuk, dan hujan mengguyur nyaris tanpa reda. Dia menyebut ekspedisinya itu “liar dan berbahaya.”
Saya datang ke Kobror bukan untuk membeli bird of paradise, melainkan semata dihanyutkan oleh rasa penasaran: seperti apa hidup di pulau yang seolah dinafikan dari peta ini? Saya datang bersama seorang tentara berpangkat sersan, Niko Lefumonai.
Ia hendak mudik ke Pafakula, sebuah kampung di pinggir Kobror, di mana ribuan cenderawasih hidup dalam habitatnya.
Baca Juga: Baca Novel Serendipity Gratis pdf by Pipit Chie
Kami berangkat dari sebuah pelabuhan di Dobo, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Aru, kota ramai yang disebut Wallace sebagai tempat bermukimnya para saudagar Bugis dan Cina. Waktu itu, jalur perdagangan Eropa belum menyentuh tempat ini.
Tugu jangkung Komodor Yos Sudarso berdiri tegak di pinggir jalan utama Dobo.