Teraskabar.com - Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat memantau kerusakan ekosistem hutan mangrove (bakau) di Nagari Gasan Gadang dan Malai V Suku, Kabupaten Padang Pariaman, Jumat (23/9/2022).
Tommy Adam ,Kepala Departemen Advokasi dan Lingkungan Hidup WALHI menyebut lingkungan masyarakat pesisir tersebut terancam akibat tambak udang."Masyarakat pesisir Gasan Gadang dan Malai V Suku menolak tambak udang baru yang akan berlokasi di 2 Nagari tersebut," ungkapnya, Jumat (30/9/2022).
Pasalnya, aktivitas tambak udang dapat mengikis hutan mangrove yang merupakan tempat tinggal biota laut. Sebagai informasi, luas hutan bakau di 2 nagari tersebut saat ini mencapai 30,7 Ha, namun terancam berkurang.
Mata pencaharian masyarakat bergantung pada biota laut tersebut. Antara lain bakau, nipah, lokan, langkitang, dan kepiting bakau.
Dengan menjual kepiting bakau yang beratnya mencapai 1 kg, masyarakat bisa meraup Rp100.000 - Rp150.000 dari setiap ekornya. Sebelum ada tambak udang masyarakat bisa menerima penghasilam sekitat Rp300.000 dalam sehari.
Sementara, menurut WALHI 8 petak tambak udang di muara tersebut menyebabkan rona warna air sungai di sekitar hutan mangrove berwarna hitam pekat akibat limbah.
Selain itu, penurunan kualitas ekosistem muara berdampak terhadap berkurangnya keanekaragaman hayati. Salah satunya kepiting, muara yang jauh berkurang bahkan hampir punah.
Selain itu, polusi udara akibat aroma pakan maupun kotoran udang vaname bisa mematikan kawasan wisata karena menimbulkan ketidaknyamanan.
Sebelumnya, Gubernur Sumbar melalui Surat Nomor 1011/INST-2021 meminta pemerintah kabupaten/kota menghentikan pembukaan lahan baru untuk pembangunan tambak-tambak udang vaname yang tidak mempunyai izin dan belum terakomodir dalam Perda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).
"Seharusnya ini sudah menjadi dasar Pemkab menghentikan pembukaan lahan untuk tambak di Gasan Gadang dan Malai V Suku," imbuh Tommy.
Dengan demikian, WALHI mendesak pemerintah segera menertibkan seluruh kegiatan tambak udang yang berdampak terhadap lingkungan hidup, terutama hutan mangrove
Kondisi Hutan Mangrove di Sumbar
Berdasarkan Peta Mangrove Tahun 2021 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, luas hutan mangrove di Sumatera Barat (Sumbar) sebesar 16.900 hektar.
Lebih rinci, mangrove jarang seluas 210 hektar, mangrove lebat 13.000 hektar lebih, dan mangrove sedang 3.549 hektar.
Terkait itu, WALHI sudah memetakan persoalan berkurangnya mangrove sejak 2019 silam.
Menurut WALHI, berkurangnya ekosistem mangrove di pesisir Sumbar sebagian besar karena alih fungsi lahan untuk kegiatan ekstraktif seperti tambak udang.
Padahal, ekosistem mangrove bermanfaat dalam menjaga lingkungan pantai serta mendukung kehidupan dan perekonomian masyarakat.
Alih fungsi lahan menyebabkan hutan bakau berkurang, sehingga penghalang ombak juga berkurang.
Akibatnya, risiko abrasi juga meningkat, Tommy mencontohkan antara lain di Bungus dan Pasir Jambak, Padang.
Baca Juga: Penerbangan Kuala Lumpur-Padang, Eka Putra: Tanah Datar Paling Siap Sambut Wisatawan Mancanegara
"Di Bungus dan Pasir Jambak, 1 hingga 2 meter daratan pantai berkurang setiap tahunnya," sebutnya.[*]