Teraskabar.com - Udara malam Ahad itu menembus dinding ari menusuk tulang, hawa dingin pun terasa merangsang tubuh, membius batang badan agar segera lelap melepas penat ke peraduan.
Langkah tak bergeming badan untuk menyusuri perkampungan penduduk di Lubuk Lintah, Kecamatan Kuranji, hingga menghentikan gerak di salah satu perguruan silek (silat).
Ya, di sini para ahli bela diri tradisional menempa para murid, perguruan seni tradisi itu dengan sebutan Singo Barantai.
Jarum panjang pada jam tangan menunjuk ke angka 8 lewat 22 menit, muncul dari gelapnya malam seorang pria berbaju biru, celana hitam tengah duduk bersila di teras rumahnya.
Tak berselang dua pria dengan pakaian serba hitam berkepala ikat deta tampak muncul lalu berdiri mengawasi. Datang seorang gadis bersama orangtuannya menghadap, menyerahkan isi carano.
Ramuan dan syarat jadi anak sasian: daun sirih, gambir, sadah, tembakau, pisau, pinang muda, beras, dan ayam jantan sehat terbentang di atas meja khusus. Hanya nyanyian alam nan terdengar ketika merapal mantra di atas syarat ramuan jadi calon anak sasian perguruan.
Suasana kembali mencekam, aroma kemenyan putih di atas bara kecil mulai bergentayangan di sekitar ku. Ayam jantan tampak bersedia untuk mereka sembelih setelah pengurapan dari Guru Tuo di atas aura kemenyan.
Ayam meliuk, seakan menampilkan karakter calon anak sasian, mengitari pisau berlumuran darah nan tertancap di atas tanah.
"Saciok bak basi, saciok ba anak ayam, sadanciang ba basi sakabek ba siriah (senasib sepenanggungan, satu kesatuan utuh dan kokoh). Nah, ketika ayam tadi telah disembelih, anggota baru telah sedarah dengan anggota lainnya," ucap Guru Tuo.
Anak sasian mengunyah siriah langkok lalu memuntahkan di punggung cawan khusus.
"Akan tampak hasil kunyahannya. Pekat atau jalang warnanya. Satu dari warna menyimbolkan kepribadian anak sasian dalam basilek," sambung Guru Tuo.
Ini baru tahapan buat anak sasian dan atau bagi siapa saja yang berguru di perguruan seni tradisi Singo Barantai. (bersambung. . . .)