Teraskabar.com - Berjarak 126 kilometer dari Kota Padang, Sumatera Barat, tibalah kaki di Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam. Laras Tilatang (Kamang) era Kolonial Belanda tempat lahirnya Front Palupuh. Ya, kini Front Palupuah sudah berusia 74 tahun umurnya.
Wilayah strategis berdirinya benteng pertahanan, tumbuhnya para pemuda dengan nyali besar, ganas dan bertaruh nyawa demi membentengi lokasi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Kisah mereka tercatat dalam sejarah, hingga lahirnya bibit yang kita kenal sekarang dengan istilah Brimob.
Yang dahulunya dengan sebutan Mobilie Brigade atau Mobbrig. Palupuah daerah yang pernah mendapat pengakuan sebagai natuurmonument melalui besluit No.27 tanggal 9 Desember 1929, termaktub dalam Staatblad No.474 tahun 1929.
Palupuh bukan sekadar nama, bukan pula awal mengakarnya kekuatan besar para pemuda di era kolonial, tapi banyak cerita nan membekas di wilayah Laras Tilatang (Kamang) semasa era Kolonial Belanda. Kawasan tanah subur dengan varian tanaman langka, seperti Raflesia Arnoldi.
Udara sejuk, hutan raya nan rimbun mencengangkan seorang ahli botani Belanda, ia dengan girang menemukan Raflesia Arnoldi, temuannya pun tercatat ketika itu di tahun 1925 di Batang Palupuh.
Baca Juga: Liga Mahasiswa NasDem Sumbar Kutuk Kasus Pelecehan Seksual di Unand, Budi: Tindak Secara Hukum
Gerakan melawan kolonial juga lahir dengan pesat, bukan saja Brimob, di wilayah ini juga terbentuk kekuatan unsur Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Badan Pengawal Nagari/Kota (BPNK) dalam pantauan payung Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan (MPRK).
Kilas balik perjuangan Front Palupuh di Minangkabau menggema kembali lewat Seminar Nasional di Kantor Camat Palupuh Kabupaten Agam, Sabtu (25/12/2022). Palanta Anak Nagari Koto Rantang sebagai kreator ide menyajikan 74 tahun perjuangan Front Palupuh nan memuncak esklasinya dengan Belanda, tepat 24 Desember 1948 silam.
Palanta Anak Nagari Koto Rantang menghadirkan berbagai tokoh dari ragam unsur sebagai narasumber, sebagai esensi merawat historis Front Palupuah. Kisah-kisah para pejuang dalam buku Front Palupuh edisi cetak 1999 kembali diperdengarkan.
"Semoga nantinya bisa meletakkan dasar bahwa Palupuh menjadi bagian dari ingatan sejarah untuk generasi selanjutnya," mengutip ucapan Hendrizal, salah satu anggota DPRD Agam.
AKP John Hendri, mewakili Komandan Batalion Brimob Padang Panjang, turut berkisah akan peran mobilie brigade atau mobbrig. "Kami dari satuan Brimob berharap, agar perjuangan di Palupuah ini tetap menjadi catatan utuh dalam jiwa, terutama generasi selanjutnya," ucap AKP John Hendri.
Baca Juga: Baca Novel Online Gratis Judulnya Istri Lima Belas Ribu Pdf
Seperti dalam buku Perjuangan Front Palupuah, tak jauh beda dengan tutur Fikrul Hanif Sufyan, mensinopsiskan Brimob berulang kali memindah lokasi markas pertahanan pasca agresor Belanda ke Kota Bukittinggi.
Markas pertahanan itu acap berpindah, bermula dari Birugo menuju Jirek, 20 Desember 1948. Kemudian ke Sipisang Palupuh, 21 Desember 1948. Mobbrig Sumatra Tengah kemudian memindahkan lokasi pertahanan itu ke Bateh Sariak, Palupuh, tertanggal 22 Desember 1948 kala itu.
Lokasi tersebut kini menjadi Markas Sektor II, daerah pertempuran Agam dalam komando Inspektur Polisi I Amir Machmud. Yang kemudian Markas Sektor II melahirkan para pejuang dengan sebutan Front Palupuh.
Perjuangan Front Palupuah ketika itu, komandonya Inspektur Polisi I Amir Machmud, lalu Mobbrig AKBP Sulaiman Efendi, Inspektur Polisi II Kaliansa Situmorang (Komandan Polisi bagian Sumatera Barat), sambung akademisi dan penulis sejarah dari STKIP Yayasan Abdi Pendidikan Payakumbuh. Kemunculan barisan pejuang ketika perpindahan tetap benteng pertahanan di Bateh Sariak Palupuah.
Kuatnya pertahanan di Palupuah membuat personel Belanda frustrasi, bahkan tidak mampu menembus bagian Utara (jalur arah Sibolga, Sumatera Utara-red) pertahanan Front Palupuah.
Baca Juga: Resmi! Sri Sonja Mahreni Nasution Nakhodai Kartini AMPI Padang Lawas
"Belum lagi keganasan para pejuang dikomandoi MPRK, membuat Belanda kocar kacir ketika hendak mengecoh masuk via Koto Tinggi, Kabupaten Limapuluh Kota," cakap mantan reporter Harian Rakyat Merdeka.
Seakan kembali dalam edisi perjuangan para pejuang, Sri Raflesia dari penyelenggara menerangkan, lokakarya ini sekaligus memberikan pesan bahwa Buku Front Palupuah salah satu catatan dalam pelusuran peristiwa dari keminiman data yang beredar.
"Buku Front Palupuah tuntas terangkum di tahun 1998, lalu terbit di tahun 1999 saat Peringatan Front Palupuah," ujarnya.
Di tengah gempuran teknologi, Palanta Anak Nagari Koto Rantang hadir sebagai mediator sekaligus perpanjangan tangan bagi generasi muda. Agar tidak lupa akan Palupuah, negeri yang pernah membuat serdadu-serdadu Belanda angkat topi. [*]